Senin, 31 Oktober 2011

KA'BAH

Ka’bah adalah suatu bangunan persegi yang terbuat dari batu-batu hitam dan tersusun dengan sangat sederhana. Setiap Muslim mengenalnya sebagai arah yang dituju ketika shalat dan tempat yang dikelilingi saat thawaf.

Saya pernah mendapat kehormatan melaksanakan shalat di dalam Ka’bah. Ketika itu, jika ingatan tak keliru, hanya ada satu peti terletak di salah satu sudut, entah apa isinya. Diskusi kecil di kalangan para pakar pernah terjadi menyangkut shalat di Ka’bah dan di dalam Ka’bah. Kata mereka, hanya shalat sunnah yang boleh dilakukan di dalam Ka’bah. Ketika ditanya mengapa demikian, banyak yang terdiam. Hanya seorang yang memberi jawaban:
“Shalat sunnah adalah shalat pilihan yang boleh dikerjakan boleh juga ditinggalkan. Seandainya setiap orang diberikan kebebasan untuk melakukan shalat wajib di dalam Ka’bah, niscaya setiap orang pun bebas memilih arah yang ditujunya: ke utara, selatan, timur atau barat. Dan ketika itu mata mereka tidak akan tertuju ke satu arah. Hati mereka pun dapat mengarah ke beberapa tujuan. Dalam shalat sunnah – khususnya dalam Ka’bah – hal ini dibenarkan karena sifat shalat sunnah adalah seperti yang dikemukakan di atas. Ia berkaitan dengan hak pilih manusia Muslim. Ia melambangkan kebebasannya mengarah ke mana pun yang dikehendaki selama masih berada di dalam Ka’bah.”
Setiap orang berhak membentuk kepribadiannya. Hanya saja – jangan diduga – bahwa kepribadian, walaupun ia utuh, pemiliknya lantas tidak menghadapi banyak hal yang mungkin awalnya bertentangan satu dengan yang lain. Suatu ketika seseorang mungkin menginginkan makanan yang lezat, tetapi keinginannya terhalang oleh keyakinan agamanya, atau kepentingan kesehatannya. Nah, apa yang harus dilakukan ketika itu? Membiarkan dirinya bimbang? Kalau demikian, bukan kelezatan makanan yang dicapai, dan bukan pula ketenangan batin yang diperoleh. Untuk menghindari kebimbangan ini, diperlukan pelita hati, pedoman atau falsafah hidup yang dapat dijadikan tolok ukur untuk menangkal kebimbangan sehingga pilihan dapat dijatuhkan. Pedoman dan tolok ukur inilah yang membentuk kepribadian.

Gambaran yang terjadi pada diri seseorang seperti yang dikemukakan di atas, terjadi pula pada sekumpulan manusia yang membentuk masyarakat atau bangsa. Mereka harus memiliki pandangan hidup dan tolok ukur dalam mewujudkan kepribadian masyarakat dan bangsa. Dalam skala yang lebih besar demikian pula hanya: semua membutuhkan arah yang jelas dan sama serta sekaligus menjadi tolok ukur dan pedoman ketika menghadapi berbagai pilihan.

Ka’bah bagi umat Islam dijadikan Allah sebagai arah yang dituju dan pada saat yang sama ia adalah lambang bagi Tuhan itu sendiri, sehingga pada saat menghadapi berbagai alternatif, maka arah itu jelas atau Tuhan-lah yang menjadi tolok ukurnya. Ini tidak berarti bahwa segala perbedaan harus dihapus dan semua kepentingan maupun kecenderungan harus dilebur dalam suatu wadah. Sekali lagi tidak! Tidakkah Anda melihat dalam shalat wajib di Ka’bah sana, ada yang berdiri di utara, selatan, timur atau barat, masing-masing bebas memilih tempat berpijaknya selama masing-masing mereka mengarah ke Ka’bah? Bukankah dalam shalat sunnah kita diberi kebebasan, akibat satu dan lain hal – untuk tidak mengarah ke Ka’bah – baik ketika berada di dalam Ka’bah maupun di luarnya?
Kelirulah mereka yang memaksakan pandangannya agar dianut. Keliru pula yang memaksakan persatuan dengan melebur perbedaan. Kita harus berbineka, tetapi juga bertunggal ika, baik sebagai bangsa maupun sebagai umat. Karena itulah yang dilambangkan oleh Ka’bah adalah arah yang kita tuju itu.[]
Lentera Hati: M. Quraish Shihab

.........TERKAIT.........

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...