Kamis, 03 Juli 2014

Wawasan Al-Quran tentang Ekonomi

Masalah-masalah pokok ekonomi menurut para pakar mencakup antara lain:

a. Jenis dan jasa yang diproduksi serta sistemnya.
b. Sistem distribusi (untuk siapa barang jasa itu).
c. Efisiensi penggunaan faktor-faktor produksi.
d. Inflasi, resesi, dan depresi.
e. Dan lain-lain.

Melihat luasnya ruang lingkup ekonomi, maka boleh jadi kita dapat menyederhanakan kajian tulisan ini, dengan mengambil alih pandangan sekian pakar yang mendefinisikan ilmu ekonomi sebagai "ilmu mengenai perilaku manusia yang berhubungan dengan kegiatan mendapatkan uang dan membelanjakannya".

Pendorong bagi kegiatan itu adalah kebutuhan dan keinginan manusia yang tidak mungkin diperoleh secara mandiri. Untuk memenuhinya manusia terpaksa melakukan kerja sama, dan sering kali juga terpaksa harus mengorbankan sebagian keinginannya, atau mengantarnya menetapkan prioritas dalam melakukan pilihan.

Namun ada juga manusia yang sukar mengendalikan keinginannya, sehingga ia terdorong untuk menganiaya, baik terhadap sesama manusia maupun makhluk lain. Dari sini amat diperlukan peraturan serta etika yang mengatur kegiatan ekonomi.

Peraturan dan etika itulah yang membedakan antara ekonomi yang dianjurkan Al-Quran dengan ekonomi lainnya.

Harus diakui bahwa Al-Quran tidak menyajikan rincian, tetapi hanya mengamanatkan nilai-nilai (prinsip-prinsip)-nya saja. Sunnah Nabi dan analisis para ulama dan cendekiawan mengemukakan sebagian dari rincian dalam rangka operasionalisasinya.

UANG DALAM PANDANGAN AL-QURAN

Terlebih dahulu perlu dijelaskan pandangan Al-Quran tentang harta (uang) dan pengembangannya dalam kegiatan ekonomi.

"Uang" antara lain diartikan sebagai "harta" kekayaan, dan "nilai tukar bagi sesuatu".

Berbeda dengan dugaan sementara orang yang beranggapan bahwa Islam kurang menyambut baik kehadiran uang, pada hakikatnya pandangan Islam terhadap uang dan harta amat positif. Manusia diperintahkan Allah untuk mencari rezeki bukan hanya yang mencukupi kebutuhannya, tetapi Al-Quran memerintahkan untuk mencari apa yang diistilahkannya fadhl Allah, yang secara harfiah berarti "kelebihan yang bersumber dari Allah". Salah satu ayat yang menunjuk ini adalah:

Apabila kamu telah selesai shalat (Jumat) maka bertebaranlah di bumi, dan carilah fadhl
(kelebihan/rezeki) Allah (QS A1-Jumu'ah [62]: 10).

Kelebihan tersebut dimaksudkan antara lain agar yang memperoleh dapat melakukan ibadah secara sempurna serta mengulurkan tangan bantuan kepada pihak lain yang oleh karena satu dan lain sebab tidak berkecukupan.

Harta atau uang dinilai oleh Allah Swt. sebagai "qiyaman", yaitu "sarana pokok kehidupan" (QS Al-Nisa' [4): 5). Tidak heran jika Islam memerintahkan untuk menggunakan uang pada tempatnya dan secara baik, serta tidak memboroskannya. Bahkan memerintahkan untuk menjaga dan memeliharanya sampai-sampai Al-Quran melarang pemberian harta kepada pemiliknya sekalipun, apabila sang pemilik dinilai boros, atau tidak pandai mengurus hartanya secara baik. Dalam konteks ini, A1-Quran berpesan kepada mereka yang diberi amanat memelihara harta seseorang:

Janganlah kamu memberi orang-orang yang lemah kemampuan (dalam pengurusan harta) harta (mereka yang ada di tangan kamu dan yang dijadikan Allah untuk semua sebagai sarana pokok kehidupan) (QS Al-Nisa' [4]: 5).

Bukan hanya itu, Al-Quran memerintahkan siapa pun yang melakukan transaksi hutang piutang, agar mencatat jumlah hutang piutang itu, jangan sampai oleh satu dan lain hal tercecer hilang atau berkurang.

Jangan bosan (enggan) menulisnya sedikit atau banyak sampai batas waktu pembayarannya (QS Al-Baqarah [2]: 282).

Bahkan kalau perlu meminta bantuan notaris dalam pencatatannya.

Kepada notaris serta yang melakukan transaksi itu, Allah berpesan pada lanjutan ayat di atas:

وَلَا يَأْبَ كَاتِبٌ أَن يَكْتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ اللَّهُ فَلْيَكْتُبْ وَلْيُمْلِلِ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ وَلَا يَبْخَسْ مِنْهُ شَيْئًا

dalam arti, hendaknya notaris jangan merugikan orang yang melakukan transaksi terutama dengan mengurangi haknya masing-masing, dan bagi yang melakukan transaksi hendaknya jangan juga merugikan sang notaris dalam waktu, tenaga, dan pikirannya tanpa memberi imbalan yang wajar. Diperintahkan juga agar memilih saksi-saksi dalam hal hutang-piutang, kalau bukan dua orang lelaki, maka seorang lelaki dan dua orang perempuan:

Agar kalau seseorang tersesat/lupa, maka yang satu lainnya akan mengingatkannya (QS Al-Baqarah [2]: 282).

Demikian antara lain kandungan pesan ayat yang terpanjang dalam Al-Quran.

Pandangan Al-Quran terhadap uang atau harta seperti yang dikemukakan sekilas ini, bertitik tolak dari pandangannya terhadap naluri manusia. Seperti diketahui, Al-Quran memperkenalkan agama Islam antara lain sebagai agama fitrah dalam arti ajaran-ajarannya sejalan dengan jati diri manusia serta naluri positifnya. Dalam bidang harta atau keuangan, Kitab Suci umat Islam secara tegas menyatakan:

Telah menjadi naluri manusia kecintaan kepada lawan seksnya, anak-anak, serta harta yang banyak berupa emas, perak, kuda piaraan, binatang ternak, sawah, dan ladang (QS Ali 'Imran [3]: l4).

"Harta yang banyak" oleh Al-Quran disebut "khair" (QS Al-Baqarah [2): 180), yang arti harfiahnya adalah "kebaikan". Ini bukan saja berarti bahwa harta kekayaan adalah sesuatu yang dinilai baik, tetapi juga untuk mengisyaratkan bahwa perolehan dan penggunaannya harus pula dengan baik. Tanpa memperhatikan hal-hal tersebut, manusia akan mengalami kesengsaraan dalam hidupnya.

Karena daya tarik uang atau harta seringkali menyilaukan mata dan menggiurkan hati, maka berulang-ulang Al-Quran dan hadis, memperingatkan agar manusia tidak tergiur oleh kegemerlapan uang, atau diperbudak olehnya sehingga menjadikan seseorang lupa akan fungsinya sebagai hamba Allah dan khalifah di bumi.

PERANAN UANG

Merujuk kepada Mu'jam Al-Muhfaras (Kamus Al-Quran) oleh Fuad Abdul Baqi, kata mal (uang) terulang dalam Al-Quran sebanyak 25 kali (dalam bentuk tunggal) dan amwal (dalam bentuk jamak) sebanyak enam puluh satu kali. Diamati oleh Hassan Hanafi sebagaimana dikemukakan dalam bukunya Ad-Din wa Ats-Tsaurah bahwa kata tersebut mempunyni dua bentuk.

Pertama, tidak dinisbahkan kepada "pemilik", dalam arti dia berdiri sendiri. Ini --menurutnya-- adalah sesuatu yang logis karena memang ada harta yang tidak menjadi objek kegiatan manusia, tetapi berpotensi untuk itu.

Kedua, dinisbahkan kepada sesuatu, seperti "harta mereka", harta anak-anak yatim, "harta kamu" dan 1ain-1ain. Ini adalah harta yang menjadi objok kegiatan. Dan bentuk inilah yang terbanyak digunakan dalam Al-Quran.

Menurut hasil perhitungan penulis, bentuk pertama ditemukan sebanyak 23 kali, sedang bentuk kedua sebanyak 54 kali. Dari jumlah ini yang terbanyak dibicarakan adalah harta dalam bentuk objek, dan ini memberi kesan bahwa seharusnya harta atau uang menjadi objek kegiatan manusia. Kegiatan tersebut adalah aktivitas ekonomi.

Dalam pandangan Al-Quran, uang merupakan modal serta salah satu faktor produksi yang penting, tetapi "bukan yang terpenting". Manusia menduduki tempat di atas modal disusu1 sumber daya alam. Pandangan ini berbeda dengan pandangan sementara pelaku ekonomi modern yang memandang uang sebagai segala sesuatu, sehingga tidak jarang manusia atau sumber daya alam dianiaya atau ditelantarkan.

Modal tidak boleh diabaikan, manusia berkewajiban menggunakannya dengan baik, agar ia terus produktif dan tidak habis digunakan. Karena itu seorang wali yang menguasai harta orang-orang yang tidak atau belum mampu mengurus hartanya, diperintahkan untuk mengembangkan harta yang berada dalam kekuasaannya itu dan membiayai kebutuhan pemiliknya yang tidak mampu itu, dari keuntungan perputaran modal, bukan dari pokok modal. Ini dipahami dari redaksi surat Al-Nisa' (4): 5 yang dikutip di atas, di mana dinyatakan Warzuquhum fiha bukan Warzuquhum minha. "Minha" artinya "dari modal", sedang "fiha" berarti "di dalam modal", yang dipahami sebagai ada sesuatu
yang masuk dari luar ke dalam (keuntungan) yang diperoleh dari hasil usaha.

Karena itu pula modal tidak boleh menghasilkan dari dirinya sendiri, tetapi harus dengan usaha manusia. Ini salah satu sebab mengapa membungakan uang, dalam bentuk riba dan perjudian, dilarang oleh Al-Quran. Salah satu hikmah pelarangan riba, serta pengenaan zakat sebesar 2,5% terhadap uang (walau tidak diperdagangkan) adalah untuk mendorong aktivitas ekonomi, perputaran dana, serta sekaligus mengurangi spekulasi serta penimbunan. Dalam konteks ini Al-Quran mengingatkan:

Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkan pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih (QS Al-Tawbah [9]. 34)

Ancaman ini disebabkan karena uang/harta seperti dikemukakan sebelum ini dijadikan Allah untuk sarana kehidupan manusia dalam rangka memenuhi kebutuhannya. Dan menyimpannya tanpa perputaran, demikian juga penimbunan kebutuhannya, tidak sejalan dengan tujuan tersebut.

Bagi pemilik uang yang tidak atau kurang mampu mengelola uangnya, para ulama mengembangkan cara-cara yang direstui oleh Al-Quran dan Sunnah Nabi, antara lain melalui apa yang dinamai murabahah, mudharabah atau musyarakah.

Murabahah adalah pembelian barang menurut rincian yang ditetapkan oleh pengutang, dengan keuntungan dan waktu pembayaran yang disepakati.

Mudharabah adalah bergabungnya tenaga kerja dengan pemilik modal, sebagai mitra usaha dan keuntungan yang dibagi sesuai rasio yang disepakati.

Musyarakah adalah memadukan modal untuk bersama-sama memutarnya, dengan kesepakatan tentang rasio laba yang akan diterima.

Cara-cara ini akan mendorong setiap pemilik modal untuk tidak membiarkan modalnya tersimpan tanpa perputaran. Bukankah uang --seperti dikemukakan di atas-- dijadikan Allah untuk sarana kehidupan dan pemenuhan kebutuhan manusia?

KEBUTUHAN MANUSIA

"Kebutuhan" biasa diartikan sebagai "hasrat manusia yang perlu dipenuhi atau dipuaskan".

Kebutuhan bermacam-macam dan bertingkat-tingkat, namun secara umum ia dapat dibagi dalam tiga jenis sesuai dengan tingkat kepentingannya. Primer (dharuriyat), sekunder (hajiyat), dan tertier (kamaliyat).

Jenis kebutuhan kedua dan ketiga sangat beraneka ragam, dan dapat berbeda-beda dari seorang dengan lainnya, namun kebutuhan primer sejak dahulu hingga kini dapat dikatakan sama dan telah dirumuskan oleh para pakar sebagai kebutuhan sandang, pangan, dan papan.

Al-Quran secara tegas menyebutkan ketiga macam kebutuhan primer itu dan mengingatkan manusia pertama tentang keharusan pemenuhannya sebelum manusia pertama itu menginjakkan kakinya di bumi. Ketika Adam dan istrinya Hawa masih berada di surga, Allah mengingatkan mereka berdua:

Maka Kami berkata, "Hai Adam' sesungguhnya ini (iblis) adalah musuh bagimu dan bagi istrimu, maka sekali-kali janganlah sampai ia mengeluarkan kamu berdua dari surga karena (jika demikian) engkau akan bersusah payah Sesungguhnya engkau tidak akan lapar di surga, dan tidak pula akan telanjang. Sesungguhnya engkau tidak akan dahaga, tidak pula disengat panas matahari di sana (surga)" (QS Thaha [20]: 117-119).

Yang dimaksud dengan bersusah payah adalah bekerja untuk memenuhi kebutuhan mereka yang di dunia tidak diperoleh tanpa kerja tetapi di surga telah disediakan yaitu pangan atau dalam bahasa ayat di atas "tidak lapar dan tidak dahaga". Sandang dilukiskan dengan "tidak telanjang", sedangkan papan
diisyaratkan oleh kalimat "tidak disengat panas matahari".

Sementara ulama menganalisis mengapa peringatan ini ditujukan kepada mereka berdua selaku suami-istri, tetapi pernyataan bersusah payah dikemukakan dalam bentuk tunggal yang ditujukan kepada suami (Adam) saja. Jawabannya menurut mereka adalah, karena kebutuhan sandang, pangan dan papan, merupakan kebutuhan pria dan wanita (suami-istri), tetapi kewajiban bersusah payah mencarinya, berada di pundak suami, sehingga merupakan kewajiban suami untuk mengikhtiarkannya.

Ketiga jenis kebutuhan seperti yang disebut di atas, mengantar manusia berikhtiar untuk memproduksi alat-alat pemenuhannya, baik berupa barang maupun jasa.

AKTIVITAS EKONOMI

Aktivitas antar manusia --termasuk aktivitas ekonomi-- terjadi melalui apa yang diistilahkan oleh ulama dengan mu'amalah (interaksi). Pesan utama Al-Quran dalam mu'amalah keuangan atau aktivitas ekonomi adalah:

Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan atau melakukan interaksi keuangan di antara kamu secara batil... (QS Al-Baqarah [2]: 188).

Kata "batil" diartikan sebagai "segala sesuatu yang bertentangan dengan ketentuan dan nilai agama".

Bukan di sini tempatnya merinci cakupan kata batil, apalagi Al-Quran --sejalan dengan sikapnya terhadap hal-hal yang bukan bersifat ibadah murni-- pada dasarnya tidak memberikan perincian. Ini untuk memberikan peluang kepada manusia atau masyarakat yang sifatnya selalu berubah, agar menyesuaikan diri dengan perubahan masyarakat sepanjang sejalan dengan nilai-nilai Islam.

NILAI-NILAI ISLAM

Secara umum dapat dikatakan bahwa nilai-nilai Islam terangkum dalam empat prinsip pokok: tauhid, keseimbangan, kehendak bebas, dan tanggung jawab.

Tauhid mengantar manusia mengakui bahwa keesaan Allah mengandung konsekuensi keyakinan bahwa segala sesuatu bersumber serta kesudahannya berakhir pada Allah Swt. Dialah Pemilik mutlak dan tunggal yang dalam genggaman-Nya segala kerajaan langit dan bumi. Keyakinan demikian mengantar seorang Muslim untuk menyatakan:

Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku adalah semata-mata demi karena Allah, Tuhan seru sekalian alam.

Prinsip ini menghasilkan "kesatuan-kesatuan" yang beredar dalam orbit tauhid, sebagaimana beredarnya planet-planet tatasurya mengelilingi matahari. Kesatuan-kesatuan itu, antara lain, kesatuan kemanusiaan, kesatuan alam raya, kesatuan dunia dan akhirat, dan 1ain-lain.

Keseimbangan mengantar manusia Muslim meyakini bahwa segala sesuatu diciptakan Allah dalam keadaan seimbang dan serasi,
Engkau tidak menemukan sedikitpun ketidakseimbangan dalam ciptaan Yang Maha Pengasih. Ulang-ulanglah mengamati! Apakah engkau melihat sedikit ketimpangan? (QS Al-Mulk [67]: 3)
Prinsip ini menuntut manusia bukan saja hidup seimbang serasi, dan selaras dengan dirinya sendiri, tetapi juga menuntunnya untuk menciptakan ketiga hal tersebut dalam masyarakatnya, bahkan alam seluruhnya.

Kehendak bebas adalah prinsip yang mengantar seorang Muslim meyakini bahwa Allah Swt. memiliki kebebasan mutlak namun Dia juga menganugerahkan kepada manusia kebebasan untuk memilih dua jalan yang terbentang di hadapannya --baik dan buruk. Manusia yang baik di sisi-Nya adalah manusia yang mampu menggunakan kebebasan itu dalam rangka penerapan tauhid dan keseimbangan di atas. Dari sini lahir prinsip tanggung jawab baik secara individu maupun kolektif. Dalam konteks ini, Islam
memperkenalkan konsep fardhu 'ain dan fardhu kifayah. Yang pertama adalah kewajiban individual yang tidak dapat dibebankan kepada orang lain sedang yang kedua adalah kewajiban yang bila dikerjakan oleh orang lain sehingga terpenuhi kebutuhan yang dituntut, maka terbebaskanlah semua anggota masyarakat dari pertanggungjawaban (dosa). Tetapi bila tidak seorang pun yang mengerjakannya, atau dikerjakan oleh sebagian orang namun belum memenuhi apa yang seharusnya, maka berdosalah setiap anggota masyarakat.

Keempat prinsip yang disebut di atas, harus mewarnai aktivitas setiap Muslim, termasuk aktivitas ekonominya.

Prinsip tauhid mengantarkan manusia dalam kegiatan ekonomi untuk menyakini bahwa harta benda yang berada dalam genggaman tangannya adalah milik Allah, yang antara lain diperintahkan oleh Pemiliknya agar diberikan (sebagian) kepada yang membutuhkan:

Dan berilah kepada mereka (yang membutuhkan) harta yang diberikan-Nya kepada kamu (QS Al-Nur [24]: 33).

Dalam pandangan agama Islam, harta kekayaan bahkan segala sesuatu adalah milik Allah. Memang jika diamati dengan saksama, hasil-hasil produksi yang dapat menghasilkan uang atau harta kekayaan, tidak lain kecuali hasil rekayasa manusia dari bahan mentah yang telah disiapkan oleh Tuhan Yang Maha Esa.

Di sisi lain, keberhasilan para pengusaha bukan hanya disebabkan oleh hasil usahanya sendiri, tetapi terdapat juga partisipasi orang lain atau masyarakat. Bukankah para pedagang --misalnya-- membutuhkan para pembeli agar hasil produksi atau barang dagangannya terjual? Bukankah petani membutuhkan irigasi demi kesuburan pertaniannya? Bukankah para pengusaha membutuhkan stabilitas keamanan guna lancarnya roda keuangan dan perdagangan? Dan masih banyak lagi yang lain. Kalau demikian, wajar jika Allah memerintahkan manusia untuk menyisihkan sebagian dari apa yang berada dalam genggaman tangannya ("miliknya") demi kepentingan masyarakat umum. Dari sini agama menetapkan keharusan adanya fungsi sosial bagi harta kekayaan.

Tauhid, yang menghasilkan keyakinan kesatuan dunia dan akhirat, mengantar seorang pengusaha untuk tidak mengejar keuntungan material semata, tetapi keuntungan yang lebih kekal dan abadi.

Prinsip tauhid yang menghasilkan pandangan tentang kesatuan umat manusia mengantar seorang pengusaha Muslim untuk menghindari segala bentuk eksploitasi terhadap sesama manusia. Dari sini dapat dimengerti mengapa Islam bukan saja melarang praktek riba dan pencurian, tetapi juga penipuan walau terselubung, bahkan sampai kepada larangan menawarkan barang pada saat konsumen menerima tawaran yang sama dari orang lain.

Prinsip keseimbangan mengantar kepada pencegahan segala bentuk monopoli dan pemusatan kekuatan ekonomi pada satu tangan atau satu kelompok. Atas dasar ini pula Al-Quran menolak dengan amat tegas daur sempit yang menjadikan kekayaan hanya berkisar pada orang-orang atau kelompok tertentu.

Supaya harta itu tidak hanya beredar pada orang-orang kaya saja di antara kamu... (QS Al-Hasyr [59]: 7).

Dari sini juga datang larangan penimbunan dan pemborosan. Hal ini tercermin pada ayat 34 surat At-Taubah yang memberikan ancaman sedemikian keras kepada para penimbun, serta sabda Nabi Muhammad Saw. berikut:
Siapa yang menimbun makanan selama empat puluh hari, dengan tujuan menaikkan harga, maka ia telah berlepas diri dari Allah, dan Allah juga berlepas diri darinya.
Ayat dan hadis-hadis Nabi seperti di atas oleh sementara pakar dijadikan dasar pemberian wewenang kepada penguasa untuk mencabut hak milik perusahaan spekulatif yang melakukan penimbunan, penyelundupan, dan yang mengambil keuntungan secara berlebihan, karena penimbunan mengakibatkan kenaikan harga yang tidak semestinya.

Di sisi lain pemborosan pun dilarang juga:

Makan dan minumlah, tetapi jangan berlebih-lebihan; sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan (QS Al-A'raf [7]: 31).

Pemborosan dan sikap konsumtif dapat menimbulkan kelangkaan barang-barang yang dapat menimbulkan ketidakseimbangan akibat kenaikan harga-harga.

Dalam rangka memelihara keseimbangan itu, Islam menugaskan Pemerintah untuk mengontrol harga, bahkan melakukan langkah-langkah yang diperlukan untuk menjamin agar - paling tidak - bahan-bahan kebutuhan pokok dapat diperoleh dengan mudah oleh seluruh anggota masyarakat.

Dalam konteks ini, Nabi Muhammad Saw. menyebutkan bahwa:

Masyarakat berserikat dalam tiga hal: air, rumput, dan api (HR Abu Daud).

Tiga komoditi ini merupakan kebutuhan masyarakat pada masa Nabi Saw., dan tentunya setiap masyarakat dapat memiliki kebutuhan-kebutuhan lain, yang dengan demikian masing-masing dapat menyesuaikan diri dengan kebutuhannya.

Semua hal yang disebut di atas harus dipertanggungjawabkan oleh manusia demi terlaksananya keadilan baik secara individu maupun kolektif.

Demikian sekilas yang dilahirkan oleh prinsip dan nilai Islam dalam bidang ekonomi.

Dalam perkembangan perekonomian sesudah turunnya A1-Quran telah lahir institusi-institusi serta kondisi yang diperselisihkan keabsahannya dari segi syariat seperti halnya dengan perbankan konvensional. Sementara ulama mempersamakan praktek perbankan itu dengan riba, sementara ulama lainnya mentoleransinya dengan syarat-syarat tertentu, antara lain bahwa bank yang menyalurkan kredit haruslah bank pemerintah, karena keuntungan yang diperolehnya pada akhirnya akan kembali juga ke masyarakat. Berikut akan disoroti hal tersebut dari segi penafsiran ayat riba.

RIBA

Keraguan terjerumus ke dalam riba yang diharamkan menjadikan para sahabat Nabi, seperti ucap Umar ibn Khaththab, "Meninggalkan sembilan per sepuluh dari yang halal." Ini disebabkan karena mereka tidak memperoleh informasi yang utuh tentang masalah ini langsung dari Nabi Muhammad Saw.

Kata riba dari segi bahasa berarti "kelebihan". Kalau kita hanya berhenti pada makna kebahasaan ini, maka logika yang dikemukakan para penentang riba pada masa Nabi dapat dibenarkan. Ketika itu mereka berkata --seperti yang diungkapkan Al-Quran-- bahwa "jual beli sama saja dengan riba" (QS Al-Baqarah [2]: 275), Allah menjawab mereka dengan tegas bahwa "Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba." Penegasan ini dikemukakan-Nya tanpa menyebut alasan secara eksplisit, namun dapat dipastikan bahwa pasti ada alasan atau hikmah sehingga ini diharamkan dan itu dihalalkan.

Dalam Al-Quran ditemukan kata riba sebanyak delapan kali dalam empat surat, tiga di antaranya turun setelah Nabi hijrah dan satu ayat lagi ketika beliau masih di Makkah. Yang di Makkah, walaupun menggunakan kata riba (QS Al-Rum [30]: 39), ulama sepakat bahwa riba yang dimaksud di sana bukan riba yang haram karena ia diartikan sebagai pemberian hadiah, yang bermotif memperoleh imbalan banyak dalam kesempatan yang lain.

Upaya memahami apa yang dimaksud dengan riba adalah dengan mempelajari ayat-ayat yang turun di Madinah, atau lebih khusus lagi kata-kata kunci pada ayat-ayat tersebut yaitu adh'afan mudha'afah (berlipat ganda), ma baqiya minarriba (apa yang tersisa dari riba) dan falakum ru'usu amwalikum, la tazlimun wa la tuzlamun.

Sementara ulama, semacam Sayyid Muhammad Rasyid Ridha, memahami bahwa riba yang diharamkan Al-Quran hanya riba yang berlipat ganda. Lipat ganda yang dimaksud di sini adalah "pelipatgandaan yang berkali-kali".

Memang pada zaman jahiliah dan awal Islam, apabila seorang debitur yang tidak mampu membayar hutangnya pada saat yang ditentukan, ia meminta untuk ditangguhkan dengan janji membayar berlebihan, demikian berulang-ulang.

Sikap semacam ini amat dikecam oleh Al-Quran, sebagaimana firman Allah:

Bila debitur berada dalam kesulitan, maka hendaklah diberi tangguh hingga ia memperoleh keleluasaan dan menyedekahkan (semua atau sebagian dari piutang) (lebih baik untuknya jika kamu mengetahui) (QS Al-Baqarah [2]: 280).

Pendapat yang memahami riba yang diharamkan hanya yang berlipat ganda, tidak diterima oleh banyak ulama. Bukan saja karena masih ada ayat lain yang turun sesudahnya, yang memerintahkan untuk meninggalkan sisa riba yang belum diambil, tetapi juga karena akhir ayat yang turun tentang riba, memerintahkan untuk meninggalkan sisa riba. Dan bila mereka mengabaikan hal ini, maka Tuhan mengumumkan perang terhadap mereka sedang

Bila kamu bertobat, maka bagi kamu modalmu, (dengan demikian) Kami tidak menganinya dan tidak pula dianiaya (QS Al-Baqarah [2]: 279).

Hemat penulis, inilah kata kunci yang terpenting dalam persoalan riba, dan atas dasar inilah kita dapat menilai transaksi hutang piutang dewasa ini, termasuk praktik-praktik perbankan.

Kesimpulan yang dapat kita peroleh dari ayat-ayat Al-Quran yang berbicara tentang riba, demikian pula hadis Nabi dan riwayat-riwayat lainnya adalah, bahwa riba yang dipraktekkan pada masa turunnya Al-Quran adalah kelebihan yang dipungut bersama jumlah hutang, pungutan yang mengandung penganiayaan dan penindasan, bukan sekadar kelebihan atau penambahan dan jumlah hutang.

Kesimpulan di atas diperkuat pula dengan praktek Nabi Saw. yang membayar hutangnya dengan berlebihan. Dalam konteks pembayaran berlebihan inilah Nabi Saw. bersabda:

Sebaõk-baik manusia adalah yang sebaik-baik membayar hutang. (Diriwayatkan oleh Muslim melalui sahabat Nabi A'bi Rafi', yakni antara lain "melebihkan". Hanya tentu harus digarisbawahi bahwa kelebihan pembayaran itu tidak bersyarat pada awal transaksi)

Nah, bagaimana dengan praktek perbankan dewasa ini?

Ulama sejak dahulu hingga kini belum dan besar kemungkinan tidak akan sepakat, karena sikap kehati-hatian tetap menghiasi diri orang-orang yang bertakwa.

***

Demikian sekelumit dari prinsip-prinsip ajaran Al-Quran tentang ekonomi. Intinya adalah keadilan, kerja sama, serta keseimbangan dan lain-lain. Dan semua itu tercakup dalam larangan melakukan transaksi apa pun yang berbentuk batil, eksploitasi atau segala bentuk penganiayaan.[]

--------------------------
WAWASAN AL-QURAN
Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat
Dr. M. Quraish Shihab, M.A.
Penerbit Mizan
Jln. Yodkali No.16, Bandung 40124
Telp. (022) 700931 Fax. (022) 707038
mailto:mizan@ibm.net

.........TERKAIT.........

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...