Rabu, 18 Februari 2015

Timur dan Barat: Antara Akal dan Jiwa

Berbicara tentang Timur dan Barat saya teringat pada ungkapan yang menyatakan bahwa "Timur adalah Timur dan Barat adalah Barat dan keduanya tidak dapat bertemu." Ungkapan tersebut dapat didiskusikan kebenarannya. Namun yang jelas, hingga sekarang ini kita masih sering mendengar penilaian negatif pihak Barat terhadap kebijakan atau sikap masyarakat yang berada di belahan Timur dunia ini. Ambillah sebagai contoh, masalah hak asasi dan demokrasi, atau juga beberapa rincian agama Islam. Perbedaan penilaian ini, tentunya disebabkan oleh kacamata yang digunakan pihak Barat tidak sepenuhnya sama dengan kacamata yang digunakan Timur.

Dahulu, boleh jadi juga sampai sekarang, Timur -- lebih-lebih Timur Jauh seperti India dan Cina -- mengandalkan intuisi dan penyucian jiwa guna mencapai kebenaran. Mereka hampir-hampir saja mengabaikan penalaran dan analisis, sehingga mereka memandang segala sesuatu dengan jiwa bukannya dengan akal. Mereka bagaikan membiarkan perincian segala sesuatu berserakan dan mengamati, bahkan menikmati, rincian seperti seseorang yang menikmati keindahan bunga tanpa melihat duri yang mengelilinginya, seperti pandangan seniman atau sufi dan memang demikian halnya jiwa manusia.

Barat lain pula halnya. Mereka mengandalkan akal, penalaran, dan analisis untuk membaca fenomena alam. Hal ini menjadikan mereka seringkali melupakan nilai-nilai spiritual. Karena itulah tampaknya pada tahun 1972, Club of Rome dalam lapolannya yang berjudul Reconstituting the Human Community, menekankan perlunya menggali nilai-nilai spiritual dan agama dari Timur.

Konon, salah satu tujuan utama Alexander The Great (356-324 SM) -- dalam upaya dan keberhasilannya menaklukkan Timur dan Barat -- adalah untuk mempertemukan kedua cara pandang yang berbeda itu.

Neo-Platonisme juga dinilai berupaya untuk maksud yang sama. Dan terakhir adalah ajaran Islam yang mengajarkan perpaduan antara jiwa dan akal. Hal inilah yang oleh sementara pakar menjadikan umat ini dinamai ummatan washatan (umat pertengahan).

Boleh jadi, cara pandang Timur dan Barat -- seperti telah dikemukakan di atas -- tidak lagi sepenuhnya benar. Tetapi yang pasti, karena semakin menyempitnya dunia, sisa-sisa cara pandang tersebut masih terasa hingga kini.

Kalau mereka memandang sesuatu terlepas dari subjektivitas dan kepentingan, itu patut dihargai. Tapi jika pandangan itu sedemikian sehingga kemampuan nalar mereka dapat mengemas tujuan subjektivitas tersebut dalam kemasan yang diduga sebagai ilmiah dan objektif, hal itu patut kita cermati.

Kepentingan studi kebaratan bukan hanya untuk mengetahui cara pandang Barat terhadap Timur dan sebab-sebab kelemahan serta keistimewaan mereka. Lebih dari itu adalah dalam rangka memadukan kedua potensi yang dimiliki manusia, yakni potensi jiwa dan akal, yang kini seringkali terasa hanya ditekankan pada satu sisi, yaitu sisi penalarannya saja.[]

M. Quraish Shihab, Lentera Hati: Kisah dan Hikmah Kehidupan, halaman 355-357

.........TERKAIT.........

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...