Minggu, 12 Juni 2011

HAYY

SEMAKIN ramai agama dalam percakapan, semakin terasa pentingnya orang menemukan kembali gua yang hilang. Saya kira itulah yang saya temukan dalam membaca kisah Hayy Ibnu Yaqzan, yang ditulis Ibnu Tufayl, pemikir Spanyol abad ke-12 itu.

Di dalamnya kita bersua dengan seorang anak yang dibuang ibunya yang ketakutan ke laut. Bayi itu terdampar di sebuah pulau di khatulistiwa. Di pulau tanpa manusia itu ia dirawat seekor kijang betina. Ia disusui, dan ketika sudah bisa berjalan, diantar ke pohon-pohon buah, dan bila haus, dibawa ke tempat air.

Pelan-pelan, anak itu juga belajar perbedaan dan makna suara-suara hewan. Kemudian ia mulai menyadari beda tubuh dan kemampuan dirinya dibandingkan dengan binatang-binatang yang mengelilinginya. Ia menambah pengetahuannya tentang dunia. Pada umur 21 tahun ia sudah membuat pakaian, rumah (juga gudang penyimpanan), dan juga senjata.

Berangsur-angsur, pengalaman hidup membuatnya berpikir terus, dengan rasa ingin tahu yang intens hingga ia sampai pada keyakinan adanya Wujud yang jadi sebab pertama dari segala yang ada.

Dari cerita fiksi ini yang terus-menerus di sela lapisan paragraf yang membahas pelbagai soal yang diamati dan direnungkan dari hidup kita dibawa ke suatu kesimpulan: iman, bahkan dalam bentuk tauhid, bisa dicapai sendiri oleh seseorang yang terbuka pikirannya dan tekun. Hasilnya akan tak berbeda dengan iman yang datang dari wahyu dan diyakini orang ramai. Itu terjadi karena ”mata hatinya terbuka, nyala pikirannya bersinar”, hingga ”ajaran akal budi pun akur dengan ajaran tradisi”, demikian tertulis dalam Hayy Ibnu Yaqzan.

Dengan kata lain, Ibnu Tufayl yang hidup di masa cemerlang sastra dan filsafat Islam Spanyol ingin menunjukkan bahwa agama wahyu, khususnya Islam, punya dasar yang universal. Tapi justru dengan demikian, tauhid yang tanpa wahyu atau keimanan di luar Islam juga tak berbeda nilainya.

Kesimpulan itu tentu membuat agama punya peran yang nisbi: ia perlu, tapi tak mutlak harus ada.

Dalam kisah yang dibawakan Ibnu Tufayl, ada dua tokoh lain. Salaman, seorang penguasa, lebih dekat ke makna harfiah dari ajaran. Ia memilih ”Percakapan”. Ia tak hendak menyendiri. Ia masuk ke dalam kehidupan sosial. Ia ikut serta dalam keimanan sebagai cara meramaikan komunitas, celebration of community, ketimbang cara menyatakan dalamnya keyakinan, jika kita pakai hasil pengamatan Ernest Gellner.

Sebaliknya Asâl: ia lebih mencari ke dalam batin, lebih bersentuhan dengan makna mistik hal-ihwal dunia. Ia memilih menghidupkan iman yang dibentuk kesendirian.

Maka ia pun datang ke pulau tempat Hayy hidup. Mereka bertemu. Asâl mengajari Hayy bahasa manusia. Mereka saling berkisah dan Asâl bercerita tentang kehidupan beragama dan berTuhan di masyarakat Muslim dari mana ia datang.

Hayy heran. Ia tak mengerti kenapa Rasulullah menyampaikan ajarannya dalam pelbagai perumpamaan yang menyebabkan umatnya menggambarkan Tuhan dalam citra mirip manusia. Tuhan yang seperti itu akan bersifat terbatas. Ia tak mencegah manusia mengejar omong kosong: kekayaan, misalnya. Memang ada aturan tentang zakat dan amal, tapi itu justru membuka pintu bagi hasrat yang menganggap milik dan kekayaan itu barang yang tak sia-sia.

Merasa pandangannya lebih benar, Hayy berniat berdakwah. Bersama Asâl ia naik perahu ke pulau di mana Salaman dan orang-orang lain hidup. Di kota itu diwejangnya khalayak.

Tapi ia tak dimengerti. Ia terus tak dipahami.

Akhirnya Hayy sadar, manusia tak berani mencari kebenaran dengan menempuh jalan yang tanpa pemandu, dengan keyakinan bahwa ada nalar yang bisa mencapai dan menemukan kebenaran yang universal.

Hayy kecewa. Tapi ia tak melihat semuanya dengan pahit. Ia malah mengakui, Rasulullah benar: dengan menggunakan perumpamaan, dengan menggunakan citra manusia untuk membicarakan Tuhan, dengan hukum yang menyederhanakan soal, manusia mudah ditertibkan.

Tapi jika iman berarti ketertiban sosial, sangat mungkin Tuhan hanya dihadirkan sebagai komandan sebuah kamp. Tiap kamp ada perbatasan. Tiap kamp adalah indikasi bahwa ada ”kita” dan ”mereka”, ada ”Tuhan kita” dan ”Tuhan mereka”. Dalam kamp itu, orang cenderung tak mengakui ada yang universal dalam iman tak mengakui bahwa ada yang mempersatukan manusia yang berbeda-beda.

Mungkin sebab itu Hayy tak bersedia ikut. Ia sejak dulu lebih cocok dengan keadaan yang jauh dari ”Percakapan”. Di akhir cerita, ia pun kembali ke pulaunya. Ia kembali ke guanya.

Gua, dalam kisah ini, bukanlah alegori ketertutupan yang gelap. Justru sebaliknya: gua, seperti dalam Gua Hira, ketika Rasulullah menerima wahyu pertamanya, adalah proses pencarian ke dalam batin, proses dari gelap ke terang.

Di luar gua, suara batin umumnya lenyap dalam ”Percakapan”. ”Percakapan” mengasumsikan adanya jalan dua jalur yang lurus dan jelas, sementara bahasa bukan itu. Bahasa selalu punya bagian yang gelap dan licin dan membuat kita tergelincir. Bahasa selalu mengandung suara gaduh orang ramai yang ikut membentuknya.

Di antara ketidakpastian itu, agaknya Hayy mendahului apa yang dikatakan Raymond Panikkar ketika ia menunjukkan tak perlunya kita heboh dengan wacana tentang Tuhan dan iman. Kita justru perlu melihatnya sebagai ”a discourse that inevitably completes itself again in a new silence”.

Goenawan Mohamad

.........TERKAIT.........

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...