Senin, 08 September 2014

Anak-Anak Kita: "Hiasan Hidup" dan "Sumber Harapan"

Anak oleh Al-Quran diakui sebagai salah satu “hiasan hidup” serta “sumber harapan”, tetapi di samping itu ditegaskannya bahwa di antara mereka ada yang dapat menjadi “musuh orang-tuanya” (QS 64: 14)

Semua orang-tua mendambakan kesehatan lahir dan batin anak keturunannya serta mengharapkan mereka menjadi ‘buah-matanya’.

Sayang, kita sering melupakan bahwa ada dua faktor utama yang sangat berperan untuk meraih dambaan tersebut, yaitu faktor keturunan dan faktor pendidikan.

Para Ilmuwan dan agamawan menegaskan bahwa orangtua berpotensi mewariskan kepada anak-cucunya sifat-sifat jasmaniah dan ruhaniah melalui gen yang mereka miliki. Dalam bahasa hadis, Nabi Muhammad saw. menamai gen dengan ‘iriq. Beliau berpesan agar calon bapak berhati-hati dalam memilih tempat untuk menaburkan benih yang mengandung gen kita karena al-‘irqu dassas, (gen itu sedemikian kecil dan tersembunyi namun memberi pengaruh pada keturunan). Inilah yang merupakan salah satu sebab mengapa Al-Quran melarang seorang Muslim yang baik untuk kawin dengan seorang musyrik atau seorang pezina (lihat QS 24: 3), dan ini pula latar belakang peringatan Nabi tersebut.

Para Ilmuwan lebih jauh berkata: “Gejolak jiwa yang dialami oleh seorang pria atau wanita ketika melakukan hubungan seks, dapat mempengaruhi jiwa anak yang sedang dibuahkannya.” Ini pulalah sebabnya sehingga agama memerintahkan agar suasana keagamaan serta ketenangan lahir dan batin diusahakan untuk diwujudkan menjelang dan pada saat “berhubungan”, antara lain dengan anjuran membaca doa-doa khusus.

Faktor kedua yang berperan adalah pendidikan. Agaknya tidak berlebihan jika dikatakan bahwa syarat pertama dan utama dalam mendidik anak adalah pengertian dan kesadaran orangtua terhadap wujud dan kepribadian sang anak. Cinta kepada anak hendaknya tidak mengantar orangtua memaksa sang anak untuk menjadi seperti mereka, atau “kelanjutan” mereka. Cinta adalah hubungan mesra antara dua “aku”.

Kalau orangtua memaksakan anaknya menjadi “kelanjutannya” atau “sama dengannya, maka pudarlah cinta. Karena ketika itu “aku” hanya satu, sedangkan “cinta” seperti dikemukakan di atas adalah “hubungan mesra antara dua ‘aku'”. Seorang anak, berapa pun usianya, adalah seoarang manusia yang memiliki jiwa, perasaan dan kepribadian.

Ummu Al-Fadhl bercerita : Suatu ketika aku menimang seorang bayi. Rasul saw. kemudian mengambil bayi itu dan menggendongnya. Tiba-tiba sang bayi pipis dan membasahi pakaian Rasul. Segera saja kurenggut secara kasar bayi itu dari gendongan Rasul. Rasul pun menegurku: “Pakaian yang basah ini dapat dibersihkan oleh air, tetapi apa yang dapat menghilangkan kekeruhan dalam jiwa sang anak akibat renggutanmu yang kasar itu?”

Rasul saw. tidak ingin rasa “rendah diri” atau “berdosa” menyentuh jiwa anak tersebut yang dapat dibawanya hingga dewasa. Ini pulalah sebabnya sehingga dalam hal-hal tertentu Nabi saw. tidak membedakan perlakuannya terhadap anak dan orang dewasa, seperti dalam mengucapkan salam. Mengucapkan salam kepada anak, minimal memberi dua dampak positif menyangkut perkembangan jiwanya: pertama, menanamkan rasa rendah hati dan kedua, menanamkan rasa percaya diri akibat “penghormatan” yang diperolehnya.

Menurut para ilmuwan, 90% dari rasa rendah diri yang diderita banyak orang dewasa, harus dicari faktor penyebabnya pada perlakuan yang dialaminya sebelum dewasa. Inilah, tampaknya, rahasia anjuran Rasul saw. : “Hormatilah anak-anakmu dan didiklah mereka. Allah memberi rahmat kepada seseorang yang membantu anaknya sehingga sang anak dapat berbakti kepadanya.”

Sahabat Nabi bertanya : “Bagaimana cara membantunya?”

“Menerima usahanya walaupun kecil, memaafkan kekeliruannya, tidak membebaninya dengan beban yang berat dan tidak pula memakinya dengan makian yang melukai hatinya,” jawab Nabi saw.[]

M. Quraish ShihabLentera Hati: Kisah dan Hikmah Kehidupan, halaman 261-264

.........TERKAIT.........

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...