Rabu, 10 September 2014

Dunia Anak adalah Dunia Permainan

Rasulullah Saw. mempercepat dua rakaan terakhir dari shalat zhuhurnya. Melihat kejadian ini, para sahabat terheran-heran dan setelah selesai salam salah seorang tampil bertanya: "Apa yang terjadi dengan shalat kita, wahai Rasul?"

"Memangnya ada apa?" tanya Nabi.
"Singkat sekali dua rakaat yang terakhir."
"Apakah kalian tidak mendengar tangisan anak-anak?"

Ada lagi peristiwa lain. Kali ini beliau memperpanjang sujudnya, dan salah seorang bertanya: "Kali ini sujud Anda panjang, tidak seperti biasanya, apakah Anda menerima wahyu?"

"Tidak, hanya saja putraku menunggangi pundakku. Aku enggan bangun (dari sujud) sebelum ia puas."

Demikianlah dua dari sekian banyak peristiwa sekaligus merupakan pengajaran Nabi Muhammad saw. menyangkut cinta dan perhatiannya terhadap anak-anak.

Hari Anak Nasional tahun 1991 dirayakan bertepatan dengan perayaan Hari Asyura (10 Muharram). Asyura diperingati karena konon pada hari itu Allah menyelamatkan Musa a.s. dan umatnya dari penindasan Fir'aun yang membunuh anak-anak mereka. Pada 10 Muharram juga terjadi pembantaian atas Husain bin Ali (cucu Nabi saw.) bersama keluarga dan pengikutnya oleh penguasa pada masanya. Karena itu, Asyura dijadikan pula sebagai hari untuk mengayomi anak-anak, khususnya para yatim atau anak yang membutuhkan perlindungan.

Tidak jarang seorang anak memiliki kedua orang-tua, kaya, dan mampu; tetapi, ia tetap membutuhkan perlindungan dari ayah-bunda-nya. Ada orang-tua, yang atas nama cinta, mengarahkan anak-anaknya untuk menjadi seperti dirinya; membebani dengan beban yang tidak terjangkau oleh dunia anak-anak bahkan bertentangan dengan bakat dan kecenderungannya. Dengan bangga, sang ayah dan ibu memamerkan kemampuan sang anak yang saat itu berada bukan dalam dunianya dan bukan pada usianya. Sang anak ketika itu sedang dibunuh oleh orang-tuanya sendiri!

Bahkan ada orang-tua yang memperlakukan anaknya yang dewasa sekalipun seperti itu, mereka memaksakan pilihannya: sekolah, jodoh, bahkan memaksanya menceraikan istri yang dicintai sang anak. "Yang demikian tidak direstui agama dan bukan bagian dari kewajiban menaati dan berbuat baik kepada kedua orang-tua," demikian tulis Rasyid Ridha (1865-1935 M) dalam tafsir Al-Manar-nya.

Anak bukanlah kelanjutan sifat, profesi atau kepribadian ibu-bapaknya. Mencintainya adalah menumbuhkembangkan bakat dan kepribadiannya karena cinta adalah hubungan mesra antara dua pribadi dengan dua "aku" yang berbeda. Dunia anak adalah dunia permainan. Dengan bermain, ayah, ibu atau siapa pun dapat mendidiknya. Karena itulah Rasul saw. menekankan pentingnya bermain bersama anak: Siapa yang memiliki anak hendaklah ia bermain bersamanya. Di tempat yang lain, beliau bersabda: Siapa yang menggembirakan hati anaknya, maka ia bagaikan memerdekakan hamba sahaya. Siapa yang bergurau untuk menyenangkan hatinya, maka ia bagaikan menangis karena takut kepada Allah.

Pertanyaannya yang muncul kemudian adalah: Cukupkah tempat bermain untuk anak-anak kita, di sekolah, di taman, atau di rumah-rumah kita? Tersediakan ragam permainan yang mendidik mereka?

M. Quraish ShihabLentera Hati: Kisah dan Hikmah Kehidupan, halaman 265-267

.........TERKAIT.........

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...