Selasa, 23 Agustus 2011

KOPI HITAM DI MALAM RAMADHAN

Diani Savitri

”Jadi, mau minum apa?” Teguran itu mengejutkannya, sedikit. ”Kopi saja.” Ia lalu segera menambahkan, ”Item. Nggak pake gula.” ”Pakai ndak pakai harganya sama.” Perempuan setengah baya itu memberengut.

Ia tidak membantah. Meski ia tahu hal itu tidak benar, tapi malam ini hal seperti itu tidak menjadi perhatiannya. ”Makan?” Ia menggeleng, untuk kemudian terkejut lagi mendengar pertanyaan yang terdengar tajam, ”Makan?!”

Ia mendongak, dan saat itu ia sadari bahwa perempuan penjaga warung kopi itu butuh lebih dari sekadar gelengan kepala. Ia tidak sedang memandangnya. Ia sedang mengelap gelas-gelas beling dengan sehelai lap berwarna abu-abu, yang sepertinya bukan warna aslinya.

”Tidak, terima kasih.” Terdengar helaan nafas wanita itu, diembuskan dengan keras seperti sengaja agar terdengar. Mungkin ia kesal tidak ada tambahan pendapatan malam ini, atau mungkin hanya karena bosan. Apa pun, wanita itu kemudian menyeduhkan segelas kopi hitam. Lelaki itu memandangi gelas kopinya. Gelas beling tinggi bertelinga satu yang gumpil, tercuil kecil pada bibirnya.

”Itu kopi segar, baru beli tadi pagi,” Lelaki berwajah tirus itu mempelajari cairan hitam dalam tunduknya. Air sekelam malam masih membentuk pusaran, sendok teh bergagang panjang berputar lemah terbawa pusaran. Aroma kopi apak memenuhi lubang hidungnya, memberitahukan bahwa bubuk kopi asalnya tidak sesegar yang dikatakan perempuan penjualnya.

”Minum aja kalau nggak percaya,” Kembali lelaki berwajah tirus itu mendongak dalam keterkejutannya, tidak menyangka dirinya masih diamati. Didapatinya si perempuan penjual menatapnya tajam, seakan menantang pikiran apa pun yang meragukan kesegaran kopinya.

Lelaki itu secara impulsif memaksakan sebentuk senyum pada wajahnya. ”Ya, tentu,” segera ia mengangkat gelas kopinya dari tatakan dan meneguk cepat cairan hitam berbau apak meski panasnya segera terasa membakar lidahnya. ”Enak.”

Komentarnya seperti menyenangkan perempuan itu. Kini, perempuan tua dengan banyak kerut di dahi dan rambut abu di kepala itu berwajah lebih menyenangkan dengan sedikit senyum di bibirnya. ”Anakku ada yang seumur Sampeyan,” kepalanya sedikit rebah ke sisi, seakan dari sisi pandang itu ia dapat lebih baik menilai lelaki yang duduk di hadapannya.

”Hanya saja anakku lebih tinggi. Badannya lebih gemuk, dadanya lebih penuh,” lanjutnya menyimpulkan pengamatannya. ”Bukannya Sampeyan terlalu kurus, lho,” tambahnya bijak, takut menyinggung satu-satunya tamu yang harus dilayaninya malam itu. ”Atau mungkin Sampeyan kurus karena puasa? Sampeyan puasa, tho?” perempuan itu berusaha mengundang reaksi. Lelaki itu mengangguk pelan. Ya, dia puasa.

Bahkan, dia sudah puasa berhari-hari. Atau tepatnya kini sudah bertahun tahun rasanya ia berpuasa. Ia berpuasa dari makanan yang mengenyangkan. Ia puasa dari tidur yang lelap di malam hari. Ia puasa dari kenikmatan-kenikmatan kecil seperti bercengkerama dengan keluarga. Ia puasa dari banyak hal duniawi yang menyenangkan hati.

***

Dua tahun lalu ia diberhentikan dari pekerjaannya sebagai sopir suatu perusahaan taksi. Ia tidak mampu membayar biaya perbaikan kendaraannya yang ditabrak metromini dari belakang. Meski sudah berkilah bahwa dia tidak bersalah, pemilik perusahaan tidak mau mengerti. Sejak itu ia bekerja serabutan — kadang jadi sopir omprengan, kondektur bis cabutan, pekerja bangunan, apa saja.

Setiap uang yang dia kumpulkan, seberapa pun kecilnya dia serahkan pada istrinya, untuk diputar sehingga mencukupi kehidupan mereka dan dua anak mereka. ”Bulan puasa begini, memang sepi. Orang mending tarawih, daripada nongkrong di warung kopi. Kalau tidak, tidur kekenyangan setelah berbuka,” perempuan baya itu tertawa kecil, berusaha mencairkan suasana yang dirasanya sepekat kopi yang baru dibuatnya. Dilirik tamu warungnya.

Pada wajah lelaki itu tidak terbaca pikiran atau perasaan sedikit pun. ”Sampeyan nggak tarawih?” Gumaman lelaki itu tidak jelas terdengar. Ia lalu menyeruput kopinya keras-keras, seperti memberi kesibukan pada mulut tipisnya sehingga tidak harus berbincang. Perempuan itu menghela nafas. Lelaki dengan masalah, pikirnya. Tapi, siapa pula yang tidak punya masalah?

Pikirannya teringat pada anak laki-lakinya sendiri. Segera saja mulutnya membuka, menyuarakan pikirannya yang selalu menjadi terlalu pepat kalau mengingat anak laki-lakinya. ”Zaman sekarang memang apa-apa susah, kitanya mesti tabah. Saya kalau ndak ingat masih punya agama, mungkin saya jadi gila. Sampeyan tahu, anak laki saya tadi itu? Harusnya sekarang sudah kasih saya momongan, tapi ya ndak, tuh.

Anak itu padahal yang saya bombongi[i], lha wong anak pertama. Ngganteng, ikut bapaknya. Jelek-jelek begini, yang mau sama saya dulu ganteng-ganteng, wong saya terkenal rajin dan pintar usaha”. Cerita tanpa alur terus mengalun, ”Mungkin ya salah saya, dari dulu saya manja. Ya gimana, anak baru satu, saya sudah dimadu! Ya sayang saya tumplek blek ke anak saya itu. Lha kok dia jadinya suka mbanggeli[ii], susah diaturnya. Terakhir ya itu, kena narkoba.

Sekarang ya sudah mati. Kemarin saya sempatkan nyekar ke makamnya.” ”Sampeyan sudah punya anak, tha?” Lelaki itu mengangguk. Ya, ia punya. Dua putra yang belum juga bisa berjalan di atas kedua kaki kecilnya, di usia mereka yang masing-masing empat dan lima tahun. Polio, kata dokter. Kurang gizi, kata mantri. Dosa turunan, kata mertua. Hanya karena ia pernah kedapatan coba-coba menggoda janda yang lumayan berada di kampungnya.

Padahal, tujuannya hendak meminjam uang dengan bunga ringan, dari janda yang terkenal genit itu. ”Yang sudah punya, baru merasa. Semua kepinginnya buat anak tercinta. Mungkin salah saya juga, waktu si sulung ditangkap polisi, malah minta uang sama adiknya. Nangis-nangis, saya waktu itu, wong katanya anak saya disiksa di penjara!

Mana saya tahu, terus dia minta ke majikannya. Tapi ya kok tega, anak saya malah diperkosa. Tenan[iii] itu, Nak, diperkosa! Padahal orang kaya, punya toko kelontong, kok masih doyan sama pembantu kinyis-kinyis kayak anak saya. Untung saja, uangnya lumayan.” Lelaki itu berubah pada wajahnya, seperti mau muntah. Bukan karena kopi legam yang pahit nyelekit beraroma asam yang muram, tetapi karena disadarinya segala dalam hidup mereka, ia dan perempuan tua itu, adalah hidup yang rengat dan rengkah. Rawan untuk pecah.

Segala hal yang mereka punya adalah luka, duka, dan beragam warna nista. ”Suami ndak pernah mau tahu. Ya tetap saja sama madunya, malah nambah dua! Kere, kok doyan kawin. Tapi ya sudah. Ndak apa-apa. Sampeyan setia, tho, sama istri?” Ya, ia mengangguk. Begitu cintanya ia pada istri kecil rapuh ringkihnya, sampai hampir gila ia saat diberi tahu dokter bahwa istrinya terkena kanker rahim taraf akut. Lebaran nanti, istrinya ingin dipulangkan ke kampung, memilih menunggu mati di sana.

Begitu cintanya, sampai dibulatkannya tekad untuk mencari uang sesegera, seberapa ada. Belati berkarat bersarung kulit cokelat dicurinya dari sopir bus, kemarin. Hendak dibuatnya menakuti orang, meminta uang. Menakuti calon korban yang dirasanya akan mudah ditaklukkan, seperti perempuan tua pemilik warung di dekat terminal bus ini.

Kopi tidak lagi hangat, hanya tertinggal warna pekat. Diberikannya tiga lembaran seribu rupiah dalam gerakan perlahan. Tiga ribu dari beberapa belas ribu yang tersisa, untuk hidup mereka beberapa hari ke depan. ”Sudah, tho, Nak? Beneran, ndak makan? Sekalian mbekel buat sahur, mau?” Tidak, geleng kepalanya menandakan. Perempuan pemilik warung berusaha mengamati dengan lebih baik, mata paruh bayanya memicing. ”Ini semua, ya?”

Anggukan kecil lelaki itu hampir tidak tertangkap penglihatannya. Lelaki itu berdiri bersegera, tidak ingin matanya yang digenangi air kepedihan terlihat si perempuan tua. Tangannya terkepal dalam jaket tuanya, yang satu membenamkan kepala belati berkarat dalam-dalam.

Suara parau penuh terima kasih perempuan pemilik warung meningkahi lamat-lamat doa dan bacaan shalat orang bertarawih, dari masjid tua dekat terminal itu. Suara parau perempuan tua menjangkau hanya punggungnya, ”Terima kasih banyak, Nak, semoga Allah membalas kebaikanmu!”. Lelaki berwajah tirus melangkah bergegas, berharap masih mendapat sisa rakaat shalat. Mendapat sisa kebaikan Ramadhan.

----------------------------------------------
Terjemahan dari bahasa/istilah Jawa
i = dibanggakan
ii = melawan, berkeras kepala
iii = betul

.........TERKAIT.........

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...