Minggu, 21 Agustus 2011

RAMADHAN DI TV, TOBAT ALA SINEMA

Aneka tema sinetron dan hiburan di bulan Ramadhan ini seolah dikondisikan oleh realitas tertentu. Dalam hal ini, yang jahat harus baik dan yang baik harus makin baik. Karena itu, muncul banyak judul sinetron yang semuanya bernuansa religius.

Semua itu imbas dari pasar yang sedang memanjakan dahaga pemirsa yang dimabuk kontemplasi spiritual. Tak salah, seorang kawan dengan sinis mengatakan pertobatan ala sinema. Hal tersebut juga berlaku saat menyimak fenomena menjamurnya para selebriti yang sebelumnya tidak terlampau religius, tapi saat Ramadhan ini, tiba-tiba menjadi pribadi yang "saleh".

Memang, setiap agama pasti memiliki doktrin kesucian tempat dan waktu. Di antara sekian doktrin itu, yang mencolok adalah perintah untuk bersembahyang dan berdoa serta melaksanakan puasa.

Dalam konteks itu, Ramadhan menempati posisi penting dalam sejarah pembentukan moral spiritual seluruh penganut agama Islam di berbagai pelosok dunia. Tak terkecuali di Indonesia.

Jadi, bisa dikatakan, semua persepsi umat Islam tentang Ramadhan pasti senada. Yaitu, bulan penuh berkah, penuh ampunan, penuh kedamaian, dan sebagainya. Dengan konteks tersebut, wajar jika banyak kaum Muslimin yang benar-benar total dalam hal membangun relasi vertikal dengan Tuhan di bulan puasa ini karena tawaran yang dihadirkan pada Ramadhan terlampau memikat untuk dilewatkan.
Tapi, tetap saja fenomena peningkatan frekuensi ibadah hanya saat Ramadhan terlihat menggelikan. Misalnya, beberapa selebriti, yang pada hari-hari biasa selalu tampil dengan busana seksi, kini jadi berkerudung dan rajin berbaju Muslim. Menurut pengakuannya dalam acara infotainment, mereka harus berubah karena selama Ramadhan yang ditampilkan memang harus yang baik-baik.
Dapat saya simpulkan, secara tidak langsung, sebenarnya mereka mengakui bahwa tampil seksi itu tidak baik. Dengan begitu, di luar Ramadhan, mereka banyak berbuat kurang baik. Momen berbuat baik cukup saat Ramadhan.

Dari situ seolah muncul satu adagium -yang telanjur menjadi common sense- bahwa boleh saja kadar keimanan dan ketakwaan kita turun, asalkan hal itu tidak terjadi di bulan Ramadhan. Ironis!

Apa Yang Terjadi?

Semua itu terjadi akibat budaya massa yang berhasil mengaburkan segala yang riil menjadi semu. Jaques Lacan menyebutnya sebagai mirror image, yaitu representasi maya dari diri kita. Maka, wajar jika sosok yang saleh, atau bertakwa akan menemukan relevansi eksistensialnya di bulan puasa ini. Sebab, budaya mainstream telah mensyaratkan untuk cukup sekadar mengamati pesona dan rupa.

Fenomena itu mungkin bukti dari analogi yang diungkapkan Jean Baudrillard bahwa kegilaan mencari identitas semu tersebut sebagai ekspektasi yang melanda masyarakat kontemporer. Dalam hemat penulis, ada satu hal yang menyebabkan hal itu terjadi. Yaitu, globalisasi dan revolusi teknologi informasi yang berpengaruh secara signifikan terhadap perubahan budaya maupun pola pikir di masyarakat (khususnya remaja). Sebab, ternyata, politik ekonomi yang dilancarkan kaum kapitalis juga bermuatan politik kebudayaan.

Salah satu modus pergerakan mereka adalah melalui penciptaan dan penyebaran budaya pop secara luas. Budaya pop/massa digerakkan melalui standarisasi dan modifikasi produk-produk budaya sehingga menjadi kultur tunggal.

Akibatnya, masyarakat seolah dibuat tidak punya pilihan, yang dalam istilah Herbert Marcuse disebut one dimensional man. Ancamannya, jika terdapat sebagian yang mencoba memberi alternatif atau bahkan resisten atas pilihan kultur tersebut, seketika mereka akan dicap tidak up-to-date dan jauh dari ketentuan masyarakat modern (absence of modernity).

Idi Subandy Ibrahim pernah mengatakan, sebagai anak kandung industrialisasi, kebudayaan pop benar-benar telah menjelma menjadi simbol brutalisme baru di pusat-pusat ibu kota di seluruh dunia. Artinya, bentuk-bentuk budaya massa tersebut akan terepresentasi seperti yang ada di televisi maupun media massa lainnya.

Industri media dengan semua produknya (film, sinetron, dan sebagainya) tidak akan steril dari penjajahan tersebut. Sebab, segala bentuk pengomoditasan dan pengendalian di balik kuasa modal akan setia menyertai.

Artinya, Ramadhan sebagai salah satu momen suci umat Muslim juga tidak steril dari penjajahan dan seretan menuju pengondisian budaya tunggal (one dimensional).

Dengan begitu, tayangan-tayangan bernuansa Ramadhan yang dikemas dalam format sinema atau entertainment lainnya pasti terjebak pada arus pendangkalan yang disutradarai agen-agen mass culture sehingga tayangan-tayangan hiburan Ramadhan yang sejatinya dijadikan sarana desiminasi aura kesalehan justru terkubang dalam -meminjam istilah Baudrilard- dunia simulacrum yang semu...

JAWA POS

.........TERKAIT.........

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...