Selasa, 28 Oktober 2014

Ihwal Pajak

Pajak adalah satu kata yang sangat pendek dan mudah diucapkan, namun sulit dilaksanakan bahkan tidak merdu terdengar, khususnya di telinga para wajib pajak. Saya tidak tahu persis mengapa pungutan wajib yang harus dibayar kepada negara dinamai pajak. Pemakaian bahasa seringkali menggunakan kata yang menggambarkan ide atau sikapnya terhadap sesuatu. Lawan jenis lelaki, misalnya, dinamai dengan "perempuan" karena ke-"empu"-annya.

Dalam bahasa Arab sehari-hari pajak dinamai dengan dharibah. Kata ini diambil dari akar kata dharaba yang antara lain berarti "memukul",  "menyakiti", "mengacaukan", dan sebagainya. Tidak mustahil bahwa para wajib pajak di sana merasa bahwa pajak berarti "menyakitkan, mengacaukan, dan memukulnya".

Apakah Islam mengenal istilah pajak? Banyak istilah yang digunakan untuk menunjuk pungutan wajib tersebut sesuai dengan ragamnya. Al-Quran, misalnya, menggunakan kata jisyah yang arti harfiahnya "perlindungan" karena pungutan wajib atas warga tertentu dimaksudkan untuk melindungi mereka sekaligus melindungi negara. Pajak bumi dinamai kharaj, kata ini diambil dari bahasa Aramic (Yahudi) yang diarabkan, yang pada pulanya berarti "sumbangan".

Dalam bahasa Arab, kata ini bila dikaitkan dengan bumi atau tanah berarti "diolah agar dapat ditanami", seakan-akan sumbangan yang diserahkan kepada negara itu menumbuhsuburkan apa yang menjadi objek kharaj. Betapapun agama memperkenalkan sistem pungutan dari masyarakat yang harus diserahkan kepada Kas Negara, untuk kemudian diatur pemanfaatannya oleh negara demi kepentingan masyarakat luas. Pungutan tersebut bukan sekadar dalam bentuk zakat. Nabi bersabda: "Dalam harta benda ada kewajiban bagi pemiliknya selain zakat." Apalagi pada saat negara membutuhkan.

Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa kewajiban itu adalah atas dasar perintah agama juga. Ulama Mesir, ketika negara mereka diserang Tatar, memfatwakan penarikan sumbangan wajib dari setiap warga negara, bahkan mempercepat masa pengumpulan zakat dan mengambil alih sepertiga dari harta warisan untuk kepentingan negara.

Memang mustahil memisahkan antara masyarakat dan individu. Bahkan sulit membayangkannya kecuali kalau benar-benar muncul tokoh yang diciptakan filosof Ibn Thufail, yakni Hay Ibn Yaqzhan, yang hidup sendirian di tengah hutan belantara, atau Robinson Cruso, petualang yang dikisahkan terdampar bersama pembantunya oleh badai di satu pulau terpencil.

Kebersamaan yang melahirkan masyarakat adalah kebutuhan setiap individu, baik oleh dorongan rasa takut, seks, atau apa pun.

Hasil material yang diperoleh adalah berkat---langsung atau tidak---bantuan pihak lain, dan produksi apa pun bentuknya selalu memanfaatkan bahan mentah yang diciptakan oleh Allah. Jika demikian, tidak wajarkah sebagian dari hasil itu disumbangkan untuk kepentingan masyarakat, di mana si penyumbang ikut menikmatinya? Demikian logika agama dalam menetapkan sumbangan wajib atau sukarela.[]


M. Quraish Shihab, Lentera Hati: Kisah dan Hikmah Kehidupan, halaman 331-333

.........TERKAIT.........

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...